Sejarah mengatakan bahwa makhluk utuh yang bernama manusia tidak pernah ada. Manusia adalah paduan komunitas untuk memenuhi tuntutan materi dimana ia berada. Dengan begitu manusia yang berada pada lingkungan agraris pasti berbeda dengan manusia yang hidup di lingkungan industri. Perbedaan itu terletak pada tingkat emosi, pikiran, tingkah laku dan tujuannya. Tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak terpengaruh pada tuntutan materi. Dan tidak ada pula alasan baginya untuk menghindari akibat yang dihasilkan oleh pemenuhan tersebut.
Saling menolong, menganut suatu keyakinan beragama dan kesederhanaan berfikir merupakan ciri khas manusia di lingkungan agraris. Bebas dalam arti memberi kesempatan yang luas kepada pikiran dan perasaan ataupun kecenderungan terhadap hal yang bersifat pragmatis merupakan ciri khas manusia di lingkungan industri. Keyakinan agama dan saling menolong antara individu sulit diterapkan oleh orang yang hidup di lingkungan industri. Sementara kebebasan dalam berfikir dan berbuat tidak sesuai bagi orang yang hidup di lingkungan agraris.
Benarkah dua pernyataan diatas adalah hasil akhir pertentangan jalan pemikiran yang bersifat permanen dan sulit dirubah keadaannya?
Memang sebagian ucapan mereka ini tidak bisa disalahkan. Atau bisa juga dibenarkan secara utuh jika manusia dibiarkan hidup apa adanya tanpa membutuhkan pengarahan dan bimbingan.
Berbicara tentang berubahan tentu tidak bisa kita mengabaikan istilah ilmu. Hakikat yang perlu ditampilkan ilmu adalah bila ia dapat membebaskan diri dari penyimpangan. Tabiat manusia merupakan tabiat yang luas dan universal, tidak dibatasi oleh garis-garis sebagaimana yang dikehendaki ilmu eksperimental atau observasi. Jadi perubahan masih bisa ditanamkan pada unsur tabiat tersebut, dengan kata lain ciri yang mereka sandang tentu dapat dibenahi. Seperti halnya lengan seorang petinju yang kekar, tentu ia mempunyai kekuatan fisik yang dahsyat, sebab ia selalu mengadakan latihan dan menyalurkannya dengan cara yang tepat. Sementara orang yang tidak mempergunakan anggota tubuhnya dan tidak melatihnya secara terus menerus, tentu kekuatannya akan sirna. Ya, tergantung pada kemauan, usaha serta penyaluran daya guna yang tepat dan konsisten.
Manusia bukan makhluk yang memiliki sifat negatif secara mutlak. Pada pokoknya dapat digariskan dua macam kekuatan; manusia itu sendiri di satu sisi, dan di sisi lain adalah kekuatan materi yang sifatnya eksternal.
Bila manusia memilih kekuatan yang dapat mengarahkan, membentuk dan yang bertujuan, maka kekuatan-kekuatan itulah yang akan memberi warna kehidupan. Sedang manusia akan mengatasi kelemahan-kelemahan materi atau mewarnainya sebagaimana yang ia kehendaki, atau minimal ia dapatmewarnai dirinya sendiri menurut kehendaknya atas dasar kebebasan yang dibatasi.
Selebihnya bila manusia tidak memiliki kehendak, kehilangan kekuatan positif serta arah, dan ia menyerahkan dirinya pada kekuatan eksternal untuk mempengaruhi dirinya, maka berarti ia memberi kekuasaan kepada materi sebagai penentu. Ia menempatkan dirinya pada posisi yang tidak menguntungkan, menjadi budak dan terus diperbudak oleh nafsu serta waktu hingga dan sadar hidupnya akan habis termakan ketidak puasan dan selalu kurang sampai ajal menjemputnya yang akhirnya kematianlah yang akan menjawab semua kepuasan dan ketidak puasan itu. Yang menanam pasti menetam apa yang ditanamnya, baik atau buruk terserah kita. Keharusan menerima konsekwensi adalah pepastian hukum Tuhan yang Maha Adil.